
Restorasi Pangan Lokal dan Kreativitas untuk Bumi yang Lestari
Di balik hutan yang sunyi, ada pangan yang tersembunyi. Masyarakat adat menjaga, benih-benih yang kaya makna
Kata-kata penuh makna yang jadi bagian dari sebuah lirik lagu dengan melodi sederhana namun tersirat banyak pesan. Pertama kali mendengarnya, langsung muncul perasaan haru dan mengagumi betapa pentingnya peran masyarakat adat selama ini. Nggak cuma itu, ada rasa ingin terus terlibat dan bergerak, menjadi bagian dari langkah kecil dalam menjaga kelestarian. Makanya aku senang sekaligus bersyukur bisa hadir di Offline Gathering Eco Blogger Squad kemarin.
Event kesekian EBS (Eco Blogger Squad) kali ini berkolaborasi dengan LTKL (Lingkar Temu Kabupaten Lestari), Semesta Sintang Lestari dan Pancaran Sinema. Serunya lagi Workshop Kolase yang mengangkat topik Protect & Restore Local Food ini berlangsung di ruang Setara dan Lestari, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Sebuah ruang dialog dan ekspresi yang mempertemukan pegiat lingkungan, seniman, komunitas lokal, hingga mereka yang tertarik ingin belajar lebih dalam tentang keberlanjutan.
Rasanya senang bisa bertemu dan mendengar para pemateri yang hadir, ada kak Ristika Putri selaku Sekretariat LTKL, kak Esty Yuniar (orang muda dari Semesta Sintang Lestari) dan kak Dian Tamara, sutradara sekaligus founder Pancaran Sinema. Mereka berbagi pengalaman, ilmu juga harapan tentang keberlanjutan pangan lokal, upaya untuk melindungi juga memulihkannya.
Dari kakak-kakak kemarin, aku jadi mengenal Sengkubak hingga Tengkawang, salah satu hasil tanah Indonesia yang punya banyak manfaat, sayangnya akupun baru mengenal. Agak tertampar dan sedih sih karena kita lebih mengenal quinoa daripada sorgum, lebih sering melihat roti gandum ketimbang singkong rebus. Padahal, di balik pangan lokal tersimpan nilai gizi alami, kearifan lokal, dan ketahanan ekologis yang luar biasa. Pangan lokal ini bukan cuma tentang makanan tapi ada nilai budaya dan keseimbangan alam di dalamnya.
Seperti visi Kabupaten Lestari di tahun 2030, semoga semakin banyak kabupaten lestari mandiri di Indonesia yang bisa melakukan pembangunan berkelanjutan seperti restorasi hutan, inovasi yang berbasis masyarakat adat hingga banyaknya pekerjaan basis ekonomi alam.
Masyarakat makin memahami dan mampu melestarikan cara-cara pengolahan tradisional, memahami kembali siklus alam, serta memberdayakan para petani dan produsen lokal yang selama ini menjadi garda depan ketahanan pangan. Seperti yang sudah dilakukan di Kabupaten Lestari seperti Aceh Tamiang, Siak, Musi Banyuasin, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Sigi, Gorontalo, dan Bone Bolango.
Kabupaten tersebut mampu memberdayakan hasil alam lokal seperti sagu, kelor, sorgum, dan berbagai tanaman khas daerah. Kak Esty juga memperkenalkan salah satu inovasi yang sudah di produksi oleh Semesta Sintang Lestari, namanya BISCHO. Hasil riset dan inovasi yang mengolah ikan gabus menjadi biskuit lezat bergizi. Aku dan teman-teman EBS berkesempatan juga untuk langsung mencicipi biskuit yang rasa ikannya sudah tidak terasa apalagi tercium, cocok banget dijadikan snack atau camilan anak. Melalui biskuit kaya gizi tersebut, anak-anak bisa tercukupi kebutuhan nutrisinya. Biskuit itupun akan didistribusikan ke wilayah-wilayah stunting di Indonesia.
Kak Esty juga memaparkan bagaimana pengolahan tradisional yang dilakukan di Sintang. Sebuah sistem pangan mandiri yang berbasis kearifan lokal. Sintang bukan hanya mempertahankan pangan lokalnya, tapi juga mengintegrasikan pendekatan ekologis dalam pengelolaan wilayah. Melalui kerja kolaboratif antara pemerintah daerah, masyarakat adat, komunitas tani, dan sektor swasta,
Di sesi terakhir workshop, kak Tamara mengajak kami untuk berkreasi dengan bahan-bahan alami, yup Eco-Friendly Crafting. Aktivitas kerajinan tangan berbahan alami dan ramah lingkungan yang ternyata seru untuk dilakukan. Bukan hanya melatih kreatifitas dan sarana untuk healing, crafting ini bisa dijadikan media ekspresi sekaligus edukasi dan penyadaran buat sekitar kita.
Eo-Friendly Crafting mengajak kita untuk mengekspresikan cinta terhadap pangan lokal. Kami diminta memilih beragam gambar yang berkaitan dengan Kalimantan barat, selanjutnya ada penggalan lirik dari lagu ‘Warisan Lintas Zaman’ yang bisa ikut di tempel di atas kertas crafting tadi. Seru banget deh, aktivitas ini menyatukan banyak nilai seperti kreativitas, perasaan, dan pastinya kesadaran betapa pentingnya alam yang lestari berikut isi di dalamnya.
Melalui pengalaman kemarin, aku makin sadar dan ingin mengajak teman-teman yang membaca ini untuk sama-sama ikut melindungi dan memulihkan pangan lokal di tanah Indonesia. Mulai dari memilih makan yang lebih dekat dengan sumbernya, mendukung petani lokal, menggunakan produk ramah lingkungan, hingga menyuarakan pentingnya menjaga lingkungan agar terus lestari. Menggunakan hasil alam secukupnya namun dirawat sebanyak-banyaknya.