
Masyarakat Adat di COP30, Menyatukan Perjuangan Lokal Mengatasi Perubahan Iklim
Indonesia itu kaya akan sumber daya alam, ribuan hektar lahan hijaunya mampu menjadi paru-paru dunia. Kekayaan hayati inilah yang dijaga sejak dulu oleh masyarakat adat, mereka yang jarang dibicarakan, namun selalu menjaga sepenuh hati.
Masyarakat adat telah menjadi pelindung alam sejak dulu. Mereka hidup dengan kearifan lokal dan budaya yang diwariskan turun temurun, dari sistem penanaman hingga pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan. Rasanya hanya masyarakat adat yang mampu memanfaatkan hasil bumi namun tetap mampu menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman di dalamnya.
Lewat pengetahuan turun-temurun, komunitas lokal ini mampu tau kapan harus bercocok tanam, kapan harus berhenti mengambil hasil hutan, dan bagaimana cara terbaik menjaga tanah agar tetap subur dari generasi ke generasi. Bagi mereka hutan adalah rumah sehingga mereka menjaga bukan berdasarkan perintah tapi karena perasaan yang sudah begitu menyatu.

Sayangnya, kondisi hutan kita terus memburuk bahkan terus digunduli karena pertambangan dan alih fungsi lahan, belum lagi perubahan iklim yang semakin jadi ancaman nyata. Sementara masyarakat adat yang menjadi penjaganya justru sering diabaikan, bahkan tidak ada perlindungan bagi keberadaan masyarakat adat saat ini.
Menjelang COP30, Pertemuan Global untuk Iklim dan Masyarakat Adat
Perubahan iklim bukan lagi prediksi para ilmuwan, tapi sudah kita rasakan sekarang. Dari musim yang makin unpredictable hingga bencana alam yang sering terjadi. Di balik semua itu, masyarakat adat dan kita semua punya peran penting untuk mencegah kondisi bumi
Seperti kata kak Rukka Sombolinggi dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) bahwa The Answer is US. Bukan hanya tugas dan tanggung jawab masyarakat adat atau komunitas lokal, ini jadi tugas kita semua, jawabanya ada pada diri kita semua. Rasanya bangga dan senang bisa mendengarkan pemaparan kak Rukka di zoom meeting global menjelang COP30 yang akan diadakan di Belém, Brasil nanti. Forum global ini dihadiri teman-teman creator yang peduli pada isu lingkungan dan iklim, aktivis, dan perwakilan komunitas lokal dari berbagai negara.

Kak Rukka menjadi perwakilan Indonesia yang berbicara dalam pertemuan itu di hadapan berbagai negara lainnya. Salutnya lagi, beliau hadir sebagai representasi masyarakat adat yang selama ini berjuang bukan hanya menjaga hutan dan tanah leluhur, tapi juga memperjuangkan hak-hak komunitas adat agar diakui secara adil.
Zoom meeting ini dipandu oleh Gustavo dengan menghadirkan 3 narasumber yaitu Rukka Sombolinggi dari Indonesia, Laila Zaid yang dikenal sebagai aktivis lingkungan asal Brasil dan Lucia seorang Storyteller dari Spanyol.
Tantangan Masyarakat Adat di Indonesia
Kak Rukka menyampaikan bahwa tantangan masyarakat adat tidak hanya sebatas pada isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Jauh sebelum krisis iklim menjadi sorotan global, masyarakat adat sudah menjadi korban. Dari pemaparan Kak Rukka, ada beberapa tantangan besar yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia.
Pertama, soaltransisi energi, seperti yang kita tau, saat ini dunia sedang gencar mendorong energi terbarukan, namun faktanya banyak proyek energi bersih justru mengambil alih tanah adat tanpa persetujuan masyarakat. Nggak cuma kehilangan lahan tapi mereka kerap mendapatkan intimidasi hingga kekerasan dari aparat. Pemerintah atau pihak swasta terkait, sering melibatkan aparat dan tak jarang menghadirkan konflik yang semakin membesar.

Kedua, masalah militerisasi, di mana pengesahan UU TNI yang memperluas peran militer untuk mengurusi kehidupan masyarakat adat hingga wilayahnya. Selanjutnya, masyarakat adat kurang mendapatkan dukungan global, ‘’hanya dikertas tapi uangnya tidak kelihatan di kampung-kampung’’, ungkap kak Rukka.
Padahal pekerjaan kak Rukka dan pejuang lainnya di AMAN sangat kompleks. Mereka tidak hanya bergerak dalam advokasi, tetapi juga mendirikan dan mengurus sekolah adat, mendampingi kasus perampasan hak masyarakat adat, hingga melakukan upaya pemulihan di wilayah adat yang terdampak konflik maupun krisis ekologis.
Semua ini adalah kerja panjang yang seharusnya mendapat dukungan, baik secara moril maupun materil, agar perjuangan mereka bisa terus berlanjut. Di akhir sesi, kak Rukka juga menyampaikan harapannya agar Negara benar-benar menghormati prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) dimana masyarakat adat memiliki hak penuh untuk terlibat dalam pembangunan. Mereka harus diberi informasi yang jelas, kesempatan yang cukup, dan kebebasan menentukan pilihan sebelum proyek apapun dimulai di wilayah adat mereka.
Selain itu kak Rukka juga menegaskan untuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang sedang mempertahankan wilayahnya. Seperti pengakuan (recognition) dan perlindungan terhadap para steward, penjaga hutan dan alam harus menjadi prioritas. Jika dunia ingin keluar dari krisis iklim, maka langkah pertama adalah melindungi masyarakat adat yang selama ini berada di garda terdepan dalam menjaga bumi.
Pemaparan Komunitas Lokal dan Narasumber dari Negara Lain
Saat Zoom meeting global yang aku ikuti kemarin, dua pembicara lainnya yaitu Laila Zaid dan Lucia juga memberikan gambaran dan pandangannya. Laila menyebutkan bahwa negosiasi dan komunikasi menjadi kunci penting untuk menciptakan kesadaran global tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi, sejauh mana perubahan iklim telah berdampak, serta apa yang bisa dilakukan oleh tiap negara untuk menghadapinya.

Ia menekankan bahwa krisis iklim bukan hanya isu lokal, melainkan masalah bersama yang membutuhkan keterlibatan kolektif. Dalam pemaparannya, Laila banyak membahas langkah-langkah yang perlu dilakukan bersama, salah satunya dengan edukasi publik melalui konten. Laila juga memberikan beberapa tips bagaimana komunitas lokal bisa berperan aktif menyuarakan isu perubahan iklim lewat konten yang mereka buat.
Pertama, ia menekankan pentingnya menyesuaikan pesan dengan minat dan karakter komunitas, agar informasi lebih mudah diterima. Kedua, membawa pulang informasi dari COP dan memanfaatkan topik tematik yang ditetapkan COP30 setiap tahunnya sebagai bahan kampanye, tips selanjutnya yaitu:
• Buat kolaborasi antara komunitas adat dan non-adat. Dengan bekerja sama, konten yang dihasilkan bisa lebih berdampak, menjangkau audiens yang lebih luas
• Jangan mencoba menjadi orang lain. Pesan akan lebih kuat jika disampaikan dengan gaya bahasa dan cara komunikasi yang sesuai dengan diri sendiri
• Validasi informasi sebelum dibagikan. Kita perlu yakin bahwa informasi yang akan kita sampaikan itu berasal dari sumber-sumber terpercaya
• Lakukan pengawasan terhadap pemimpin negara dan kebijakan publik. Gunakan konten kreatif untuk membahas isu-isu kebijakan, hubungkan dengan krisis iklim, dan tunjukkan dampak nyata bagi kehidupan sehari-hari masyarakat.
Selanjutnya ada Lucia seorang story teller yang ikut menyampaikan bahwa story telling dapat mengembangkan narasi dan membuat pesan lebih mudah dipahami. Ia juga menambahkan bahwa COP30 jadi momentum penting untuk memposisikan diri kita, menceritakan pengalaman dan territorial yang diperjuangkan. Narasi versi apa yang ingin kita perdengarkan kepada dunia. Lucia juga berpesan agar kita bisa memanfaatkan platform COP30 ini sebagai ruang untuk menampilkan realitas dan cerita masyarakat adat selama ini dalam berjuang.
COP30 bagi Masyarakat Adat
COP30 merupakan pertemuan ke-30 dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan mempertemukan delegasi dari berbagai negara. Forum ini menjadi wadah utama untuk melakukan negosiasi internasional terkait mitigasi, adaptasi, dan kerangka kerja penanganan perubahan iklim. Di sinilah setiap negara nantinya akan merundingkan serta berkomitmen memperkuat target pengurangan emisi, pembahasan pendanaan iklim, serta mencari jalan keluar untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

Setiap tahunnya, COP30 menghadirkan tema atau thematic focus yang berbeda. Tema-tema tersebut dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk menentukan isu apa yang paling relevan dan kerangka pembuatan kontennya. Dengan cara ini, masyarakat adat tidak hanya hadir sebagai objek pembahasan, tetapi menjadi bagian penting dari diskusi global, membawa cerita,
perspektif, dan bagian dari dirundingkannya solusi bersama.
Mendukung Masyarakat Adat, Menjaga Masa Depan Bumi
Perjuangan masyarakat adat akan terus ada dan bertahan jika kita ikut mendukung dan menyuarakan apa yang sudah mereka lakukan. Mereka menjaga sumber kehidupan yang hingga sekarang bisa kita nikmati bersama. Mereka juga yang mempertahankan warisan budaya kearifan lokal hingga mempertahankan keseimbangan alam. Dengan memberi dukungan, kita tidak hanya membantu melindungi hak-hak mereka, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekosistem, ketahanan pangan, dan masa depan generasi kita.
Terus suarakan isu perubahan iklim secara konsisten, kita membantu membuka mata dunia bahwa krisis ini nyata dan akan semakin buruk dampaknya jika diabaikan. Semakin banyak orang tahu, semakin besar peluang lahirnya kepedulian kolektif dan tekanan bagi pembuat kebijakan untuk bertindak.
Selanjutnya, kita juga bisa mendukung komunitas lokal dengan memilih dan bangga menggunakan produk lokal, hasil bumi yang dikembangkan melalui tangan-tangan kreatif yang setulus hati merawat alam agar lestari. Terakhir, aku ingin mengajak teman-teman untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat, sebagai payung hukum yang memberi pengakuan, perlindungan, dan kepastian bagi jutaan masyarakat adat di Indonesia.


