Education,  Lifestyle,  Travelling

Sukamukti Garut, Bukti Nyata Reforma Agraria Membangun Desa

Ada keinginan yang aku pelihara sejak lama, jika Allah memberi umur panjang, ingin rasanya menua sederhana di desa, menggarap sawah seperti petani di Sukamukti. Dikelilingi hamparan hijau, udara segar setiap saat, berjalan ke ladang dan menikmati tanah di sela jari. Bagiku kehidupan petani selalu menyiratkan rasa cukup dan kebahagiaan sederhana yang jarang ditemukan di kota.

Mungkin itulah sebabnya, setiap kali mendapat kesempatan mengunjungi desa, aku selalu antusias, feels like a step closer. Seperti perjalanan kemarin bersama Eco Blogger Squad ke desa Sukamukti, Garut. Desa yang berada di lereng gunung Cikuray, hanya sekitar 15-30 menit dari kota Garut.

Ini jadi perjalanan yang amat berkesan, bahkan membuat aku merasakan punya keluarga baru disana. Ada semangat kuat masyarakat yang saling bahu membahu, keramahan tulus seisi desa hingga sambutan hangat yang membekas. Pesona desa yang tak hanya indah, banyak bukti perubahan dan kemajuan yang lahir dari reforma agraria. Sekarang para petani mampu mengolah akar wangi sebagai komoditas berkualitas ekspor sekaligus sumber penghidupan yang berkelanjutan.

Pesona desa Sukamukti Garut, bersama teman-teman Eco Blogger Squad

Menyusuri gelapnya jalanan Bekasi menuju Rasuna Said, aku tiba sekitar satu setengah jam sebelum bus berangkat menuju Garut. Saat itu kondisi ibu kota sedang tidak baik-baik saja, namun aku menyimpan harapan besar dari perjalanan ini, dari sebuah desa di ujung Jawa Barat yang nantinya bisa memberikan inspirasi dan harapan untuk melihat Indonesia agar lebih maju, dari perjuangan para petani dan semangat masyarakatnya.

Jejak Perjuangan SPP Garut dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan

Sebelum melanjutkan langkah ke desa Sukamukti, kami silaturahmi terlebih dahulu ke kantor sekretariat SPP (Serikat Petani Pasundan) kota Garut. Dibersamai Kak Benni dan Kak Molisnadari dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), kami berdiskusi santai dengan Pak Yudi Kurnia dan Bu Yani yang merupakan dewan suro dari SPP.

SPP ini merupakan organisasi lokal yang kini sudah tersebar di 5 kabupaten. Dideklarasikan sejak tahun 2000, SPP hingga hari ini terus konsisten memperjuangkan hak atas tanah para petani. Tidak berhenti pada perjuangan agraria, mereka juga mendorong lahirnya ekonomi kerakyatan yang hasil nyatanya bisa aku lihat di desa Sukamukti dan sekitarnya.

Diskusi santai bersama Serikat Petani Pasundan

Selama ini, aku hanya membaca isu agraria dari berita atau media sosial saja. Namun, mendengarnya langsung dari orang-orang yang mengalami dan ikut berjuang di dalamnya, rasanya jauh berbeda. Betapa sulitnya proses yang dilalui para petani untuk menghadirkan beragam pangan yang kita bisa nikmati setiap hari. Ada perjuangan besar untuk mendapatkan tanah agar bisa digarap oleh petani, ditambah kondisi desa yang dulu serba terbatas.

Sebelum hadirnya reforma agraria, kehidupan di Desa Sukamukti jauh dari kata sejahtera. Sebagian besar tanah dikuasai oleh perusahaan perkebunan, sementara warga desa hanya menjadi buruh dengan upah yang kadang telat dibayar. Banyak petani yang kehilangan hak menggarap lahannya sendiri, sehingga harus bekerja pada tanah yang seharusnya milik mereka. Nggak cuma itu, lahan subur yang seharusnya bisa ditanami beragam pangan lokal justru dijadikan perkebunan teh yang perlahan merusak kesuburan tanah.

Pak Yudi juga menambahkan, dulu sekolah hampir tidak ada. Kalaupun ada, letaknya jauh dari desa. Kondisi ini diperparah dengan akses jalan yang sulit dilalui. Alhamdulillahnya, semua kondisi itu perlahan berubah sejak SPP memperjuangkan hak atas tanah dan membangun semangat ekonomi kerakyatan. Bersama swadaya masyarakat, jalan-jalan desa yang dulunya sulit dilalui mulai diperbaiki, saluran air dibangun agar setiap rumah bisa menikmati sumber mata air dari Gunung Cikuray, dan sekolah-sekolah gratis berdiri untuk anak-anak para anggota SPP maupun masyarakat desa.

Sukamukti

Sekarang, para petani kembali bisa menggarap lahannya sendiri. Dari tanah yang dulunya terbatas, kini mereka mampu menghasilkan beragam pangan lokal yang melimpah. Sayuran segar, umbi-umbian, buah-buahan, hingga akar wangi yang menjadi primadona Cilawu. Beberapa makanan hasil panen para petani, turut dihidangkan untuk menemani sesi diskusi santai kemarin.  Ada singkong goreng, dodol manis khas Garut, peyeum, tak ketinggalan secangkir kopi asli dari biji kopi Cikuray yang tanpa sadar, sudah aku teguk segelas penuh, sangking nikmatnya.

Cerita kemudian dilanjutkan oleh Kak Salsa Nurhaliza yang akrab disapa Nuy, anak dari anggota SPP yang kini tergabung dalam FPPMG (Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut). Kak Nuy juga pernah menjadi murid dari sekolah yang dibangun oleh anggota SPP dan swasembada masyarakat. Sekolah gratis yang jenjang pendidikannya mulai lengkap, dari SD hingga pesantren pun ada. Bukti nyata bahwa pendidikan tak boleh berhenti di batas kota, tapi harus tumbuh juga di desa.

Ketulusan yang Menyapa dari Desa Sukamukti

Sesampainya di Desa Sukamukti, aku dan teman-teman Eco Blogger Squad langsung terkejut dengan sambutan yang begitu luar biasa dari masyarakat desa. Mereka berdiri berjajar sejak di gang depan hingga ke dalam, menanti kedatangan kami dengan senyum tulus dan uluran tangan yang penuh kehangatan. Baru kali ini aku merasakan sambutan yang membuat diri serasa begitu dihargai dan istimewa. Belum berhenti di situ, kami disambut pula dengan tenda berhiaskan bendera merah putih di sekelilingnya, sementara lantunan sholawat dari masyarakat dan anak-anak petani menggema syahdu. Meleleh, rasanya benar-benar terharu dan membekas di hati.

Lagi… sambutan mereka belum berhenti. Anak-anak petani yang bersekolah di desa Sukamukti maju ke depan, dengan kompak menyanyikan lagu Indonesia Raya. Entah kenapa suara mereka yang penuh semangat, ditambah lirik tiap baitnya, berhasil menggetarkan hati. Terlintas cerita perjuangan orang tua mereka yang membangun sekolah di desa tanpa bantuan pemerintah sedikitpun.  Makin haru karena dinyanyikan ditengah kondisi Indonesia yang berusaha pulih.

Sambutan hangat dari warga desa Sukamukti

Kamipun mulai saling berkenalan dengan beberapa tokoh desa, anggota SPP hinga adik-adik yang menyampaikan ingin meneruskan perjuangan orang tuanya di desa. Dari obrolan singkat sore itu, aku bisa merasakan betul bukti nyata kalau SPP bagi mereka bukan sekadar organisasi, tapi wadah untuk mengembalikan harkat dan martabat petani, sekaligus memperbaiki kondisi ekonomi desa.

Masa Sulit Petani Sukamukti dan Perjuangan yang Belum Usai

Dari diskusi bersama dan mendengar cerita masyarakat, aku jadi tau kalau dulu lahan di desa ini begitu terbatas pemanfaatannya. ‘Warga hanya menanam singkong dan jagung, membuat warga dengan lahan luas tetap miskin’, ungkap salah satu petani yang berbagi cerita.  Tanaman singkong jagung memang mudah untuk tumbuh, tapi tak memberikan nilai ekonomi yang berarti.

Fakta yang lebih pahit lagi, sebelum diperjuangkan, tanah di desa sebagian besar di jual ke investor oleh Pemerintah. Kebanyakan dikelola swasta jadi perkebunan teh. Dampaknya tanah kehilangan kesuburannya dan semakin kering. Masyarakat desa yang seharusnya jadi petani, malah terpaksa jadi buruh PT dan dipekerjakan tanpa memperhatikan kesejahteraan hidup mereka.

warga desa di forum diskusi

Sedih,mengetahui fakta yang terjadi di desa dan tantangan yang perlu dihadapi para petani, nggak sekedar memastikan hasil panen yang bisa dijual dan bertarung dengan harga yang kerap tidak sebanding. Kenyataan pahitnya ternyata jauh lebih banyak.

Di hari kedua, aku dan teman-teman juga diajak berkunjung ke salah satu desa lain yang masih berada di Kecamatan Cilawu. Di sana, kami bertemu dengan salah satu mantan pekerja di perkebunan milik swasta yang lokasinya nggak jauh dari tempat yang kami datangi ini. Dari penuturannya, aku bisa merasakan betapa berat kondisi yang pernah ia jalani selama menjadi buruh. Perusahaan yang tidak benar-benar memanusiakan pekerja, upah sering terlambat dibayarkan, bahkan rumah tempat tinggal para buruh kala itu hampir roboh karena sudah tidak layak huni.

Kondisi itulah yang akhirnya membuat anggota SPP tergerak untuk membantu para mantan buruh ini dengan membangun rumah permanen. Melalui kebaikan hati para anggota SPP, sekarang ada 3 keluarga yang sudah menempati rumah tersebut. Terlihat sekali rasa syukur dari wajah dan penuturan mereka saat bercerita. Rumah itu akan jadi pengingat kebersamaan yang lahir dari perjuangan sesama petani.

rumah petani
Rumah layak huni yang didirikan anggota SPP, saat ini ditempati 3 keluarga

Hingga saat ini masih ada beberapa petani dan masyarakat desa yang menerima intimidasi dan tekanan dari beberapa oknum, baik dari perusahaan swasta maupun aparat. Namun semangat memperjuangkan hak petani jauh lebih besar dibanding rasa takut menghadapi perlawanan dari kekuasaan yang disalahgunakan. Aku merasakan betul semangat saling bantu, kekeluargaan dan solidaritas yang dimiliki SPP dan warga desa. Tak hanya untuk Cilawu, tetapi juga mengalir hingga ke kota lain, hadir dalam aksi perjuangan maupun bantuan ketika musibah melanda,salut!

Hingga kini SPP bersama masyarakat desa masih terus berjuang mempertahankan dan mengambil alih hak atas tanah yang sebagian masih dikelola swasta. Mengembalikan lahan yang memang seharusnya diperuntukkan bagi petani setempat.

Harum Akar Wangi dari Lereng Cikuray Menuju Pasar Dunia

Sejak awal kedatangan, kami sudah disambut beragam hasil bumi yang melimpah. Para ibu di desa tak henti-hentinya menyajikan makanan untuk mengenyangkan perut kami. Terlihat variasi hasil panen di desa ini sungguh berkah, dari umbi-umbian, sayuran, hingga kopi yang tak pernah ketinggalan ada di setiap diskusi.

Selama berada di sana, piringku tak pernah meninggalkan sisa makanan, semuanya dilahap hingga habis. Dari sayur sop hangat, ikan goreng yang gurih, hingga sambalnya yang menurutku menjadi bintang utama di setiap hidangan. Belum lagi buah-buahan seperti pisang, potongan pepaya, jeruk yang melengkapi setiap sajian.

Di hari kedua, kami juga diajak melihat langsung ladang tempat para petani membudidayakan akar wangi. Sepanjang jalan, semerbak aromanya sudah begitu terasa, Akar wangi inilah yang kini menjadi komoditas unggulan desa. Tanaman ini menjadi bukti keberhasilan reforma agraria dalam memperbaiki kondisi ekonomi warga desa. Dengan hak atas tanah, petani dapat menggarap lahannya sendiri dan menghasilkan komoditas berkualitas ekspor (akar wangi). Hasil panen tersebut bukan hanya menjadi sumber pendapatan, tetapi juga modal produktif untuk membangun desa secara mandiri, berkelanjutan dan untuk membantu sesama petani agar tidak terjadi ketimpangan.

akar wangi yang tumbuh dan baru dipanen

Tanaman dengan aroma khas ini memenuhi sebagian besar lahan di Sukamukti. Bentuknya seperti rerumputan panjang dan ditanam dengan sistem tumpang sari. Akupun dibuat speechless dengan kemampuan petani yang bisa memaksimalkan lahan sebaik ini. Akar wangi ditanam bersamaan dengan jenis tanaman lain di satu lahan. Misalnya diantara barisan akar wangi, bagian tengah dari lahan tersebut akan ditanami sayuran atau palawija. Nantinya sisa-sisa panen sayuran tersebut dijadikan kompos yang bisa menyuburkan akar wangi. Jadi dalam membudidayakan akar wangi ini, petani tidak menggunakan pupuk kimia.

Aku benar-benar bersyukur bisa mendengar langsung semua informasi dan ilmu ‘mahal’ ini langsung dari para petani. Mereka pun antusias menjelaskan proses budidaya akar wangi, mulai dari menanam, merawat, hingga proses menyulingnya. Tanaman yang hasilnya mampu menembus pasar ekspor. Benar kata Rasulullah, jika sebuah urusan dipegang oleh ahlinya, maka akan mendatangkan kebaikan dan inilah buktinya, ketika tanah dikelola oleh petani, hasilnya bisa mensejahterakan seluruh desa, MasyaAllah.

Dari sesi tanya jawab, aku akhirnya tahu bahwa akar wangi sebenarnya bisa ditanam hampir di semua tempat, tetapi hasilnya sangat bergantung pada kondisi tanah. Tanah yang gembur dan subur membuat akar bisa tumbuh panjang, banyak, dan menghasilkan kadar minyak yang bagus seperti di Cilawu. Sebaliknya, jika ditanam di tanah yang keras, akar cenderung pendek, jumlahnya sedikit, dan minyak yang keluar pun tidak maksimal. Jadi, kualitas minyak akar wangi ini benar-benar ditentukan oleh kesesuaian tanah tempat ia tumbuh.

lokasi penyulingan akar wangi sukamukti
Pak Hayat, anggota SPP – Tempat penyulingan akar wangi di Sukamukti

Aku dan teman-teman EBS diperkenankan juga untuk melihat langsung tempat penyulingan akar wangi yang dikelola oleh anggota SPP bersama warga desa. Dari penjelasan Pak Hayat yang saat itu membersamai kami, masa tanam akar wangi hingga panen membutuhkan waktu kurang lebih 12 bulan. Setelah dipanen, akar wangi dikeringkan terlebih dahulu hingga kadar airnya berkurang. Selanjutnya akar yang sudah kering dimasukkan ke dalam sebuah mesin penyulingan berkapasitas sekitar 1,5 ton.

Akar wangi diekstraksi selama kurang lebih 16 jam sampai menjadi minyak yang berwarna cokelat gelap, kental, dan berkilau,inilah yang dijadikan bahan baku atsiri yang nantinya akan digunakan untuk parfum, kosmetik hingga obat tradisional. Nggak cuma meningkatkan kesejahteraan petani, tanaman ini juga bermanfaat menjaga kelestarian tanah di sekitar lereng. Akarnya yang panjang dan menjuntai ke dalam tanah, membuat akar wangi bisa mencegah erosi  dan menyuburkan tanah sekitarnya.

proses penyulingan akar wangi di sukamukti
Akar wangi kering – mesin penyulingan – proses destilasi dengan uap – minyak yang keluar berupa cairan cokelat kental

Akar wangi biasanya dipanen pada musim kemarau, saat kondisi tanah kering sehingga kualitas akarnya lebih baik. Pak Hayat menjelaskan, kalau cuaca sedang baik, para petani bisa mendapatkan hasil 7–10kg dari sekali panen. Harga jual tertinggi yang pernah mereka alami bahkan mencapai 5 juta per kilogram. Namun tantangan pasti ada dan tidak selalu mulus, di kondisi kurang baik, hasil panen biasanya turun sekitar 3 kg, dan harga jual pun ikut merosot hingga kisaran 1,5 juta/kg.

Penyulingan akar wangi di Cilawu tidak hanya ada di Sukamukti, masih ada beberapa desa yang juga mengelola proses penyulingan ini. Alhamdulillah kini Cilawu semakin dikenal luas sebagai salah satu penghasil minyak atsiri terbesar dengan kualitas ekspor.

Akar wangi di Sukamukti ternyata tidak hanya dimanfaatkan untuk disuling menjadi minyak atsiri. Ada warga desa yang juga mengolah seratnya menjadi seni kerajinan yang bernilai ekonomi. Kami juga diajak berkunjung ke rumah salah satu pengrajin serat akar wangi yaitu Kang Deni. Dirumahnya, tersusun berbagai karya unik dari akar wangi, ada bentuk domba, dinosaurus, hingga topi yang dibuat dengan kreatif. Setiap karya memiliki harga yang berbeda-beda, jadi tergantung pada ukuran, tingkat kesulitan, dan lamanya proses pengerjaan.

foto bersama pengrajin akar wangi desa Sukamukti

Kerajinan dari akar wangi ini bukan hanya menarik karena bentuknya yang unik, tetapi juga meninggalkan aroma harum khas akar wangi yang bisa bertahan hingga berbulan-bulan. Alhamdulillah aku dan teman-teman EBS juga membawa pulang hasil kreativitas akar wangi ini dalam bentuk domba khas Garut. Keharumannya bisa dijadikan pengharum ruangan dalam bentuk pajangan yang unik. Inilah yang menjadikan kerajinan akar wangi sebagai potensi desa yang istimewa, semoga karya kang Deni ini bisa membuka peluang baru sebagai sumber penghasilan tambahan bagi warga desa dan menambah keunikan desa Sukamukti yang Insya Allah nantinya bisa jadi desa wisata yang banyak diminati.

Pesona Desa Maju  yang Memberikan Kesan Mendalam

Di desa Sukamukti akses jalan sudah cukup memadai, sumber air dari pegunungan Cikuray sudah mengalir ke rumah-rumah warga, listrik dan jaringan internet pun kini mudah diakses. Sarana ibadah seperti musola berdiri cukup banyak dan pilihan pendidikan pun semakin tersedia di sana, dari sekolah dasar hingga pesantren, meski masih sederhana tapi mampu memberi harapan besar bagi anak-anak petani untuk tetap belajar tanpa harus meninggalkan desa.

Di hari terakhir, kami juga berkesempatan untuk melewati beberapa desa lain di sekitar Sukamukti, seperti Mekarmukti dan Dangiang. Selain jalanan yang sebagian besar sudah diaspal, kami melihat hamparan sawah dan ladang hijau di sepanjang jalan. Akses yang dulu sulit ditempuh sekarang sangat mempermudah warga desa untuk beraktivitas, kendaraan bisa keluar masuk desa tanpa hambatan.

tampak desa Sukamukti

Di bidang pendidikan, perjuangan SPP dan warga desa dalam membangun sekolah juga sangat menginspirasi. Sudah ada  sekolah-sekolah yang jenjang pendidikannya cukup lengkap, dari SD hingga pondok pesantren. Bahkan ada satu hal yang istimewa lagi, menurut penuturan Pak Yudi, ada satu materi khusus yang diajarkan kepada anak-anak desa yaitu mengenal potensi desanya sendiri. Mereka tidak hanya belajar pelajaran umum, tetapi juga bagaimana menghargai dan memanfaatkan sumber daya alam di desa untuk kesejateraan bersama. Harapannya, ketika dewasa nanti mereka tidak pergi meninggalkan desa untuk mencari kehidupan di kota, melainkan kembali pulang, membangun desa bersama seperti yang telah dilakukan orang tua mereka.

Tak hanya mendapatkan pendidikan di bangku sekolah, anak-anak di Sukamukti juga diajak langsung ke ladang, menyaksikan dan merasakan bagaimana orang tua mereka mengolah tanah untuk menghadirkan banyak manfaat. Pendidikan agraria yang turun-temurun diwariskan, melekat kuat dalam kehidupan desa. Jadi anak-anak desa sekarang bisa tumbuh dengan pengetahuan akademis tanpa melupakan tradisi kearifan lokal yang perlu mereka jaga.

peran wanita dari desa Sukamukti

Apa yang diperjuangkan SPP dan warga desa menjadi bukti nyata betapa pentingnya tanah bagi kehidupan petani. Petani tidak seharusnya jadi buruh di tanahnya sendiri. Rakyat desalah yang paling mampu menggarap lahan di desa untuk menghasilkan pangan yang beragam bahkan punya tanaman unggulan yang bisa meningkatkan kesejahteraan desa.

Semoga desa Sukamukti bisa menjadi inspirasi dan semangat bagi desa-desa lain di Indonesia untuk tumbuh maju dan mandiri. Reforma agraria membawa perubahan besar, mengembalikan martabat petani dan menggerakkan ekonomi seisi desa tanpa merusak kelestarian alam di sekitarnya.

hasil kerajinan dari akar wangi di desa Sukamukti

Ada beberapa produk desa Sukamukti yang bisa kita miliki dengan pembelian online atau langsung. Seperti kopi bubuk siap seduh yang praktis di bawa kemanapun. Aku sudah merasakan sendiri nikmatnya kopi Cikuray tanpa gula yang bisa disajikan langsung dengan air panas. Selain itu, ada kerajinan akar wangi juga yang hadir dalam berbagai bentuk. Tak sekedar membeli, ini akan jadi dukungan nyata kepada petani lokal sekaligus pemberdayaan masyarakat desa. Semoga nantinya banyak produk desa dengan variasi lain yang bisa segera hadir dan mendunia. Harapan kita sama ya, pembangunan nggak hanya terpusat di kota, tetapi juga merata hingga ke desa.

Perjalanan kali ini jadi moment paling berkesan, dikelilingi teman-teman EBS (Mba Ruli, kak Mei, Siti, kak Salman, Bowo, kak Alvie, My roommate Siti, kak Putri dan kak Erin) yang seru dan penuh energi, juga tim EBS (kak Amel, kak Tara, kak Imam dan kak Stepfanie) yang selalu perhatian sepanjang perjalanan. Kebersamaan itu membuat pengalaman di Sukamukti terasa lebih lengkap.

Terima kasih banyak untuk Serikat Petani Pasundan dan warga Desa Sukamukti yang telah menyambut kami dengan begitu hangat dan memberikan banyak pengalaman seru dan bermanfaat selama berada di sana. Doa dan harapan besar untuk seluruh warga desa, SPP, dan para petani, semoga semangat serta perjuangan kalian akan membawa desa semakin maju dan warganya kian sejahtera. Semoga suatu hari nanti Allah memberikan kesempatan kembali untuk bertemu dengan mereka, warga desa yang kebaikan hati dan kehangatannya akan selalu meninggalkan kesan mendalam. Hidup petani!Hidup Rakyat! Tanah untuk Rakyat!

Hasil panen di Sukamukti

Hiii terima kasih sudah berkunjung. I'm totally happy and greatly appreciate if you kindly give me some advice and comments. For any enquiries, kindly send email to ria.iyha29@gmail.com . Enjoying reading :))

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *